Subscribe:

Ads 468x60px

Pages

27 Nov 2011

Refleksi Satu Muharram: Untuk Apa Kalender Diciptakan?

  • i
Setiap bangsa dan agama umumnya memiliki kalender masing-masing untuk menandai hari-hari dan peristiwa besar yang kemudian dirayakan dengan upacara kenegaraan ataupun keagamaan. Sebagai bangsa besar, China misalnya, memiliki kalender untuk menentukan hari-hari besar mereka. Dalam dunia akademis dan perdagangan, tampaknya yang dominan adalah kalender Masehi, yaitu dimulai dari peristiwa kelahiran Yesus Kristus.

Umat Islam sesungguhnya memiliki kalender tersendiri, meskipun mereka juga menggunakan kalender Masehi. Pada 27 Nopember 2011 nanti, dimungkinkan jatuh 1 Muharram 1433 Hijriyah, sebagai awal tahun baru yang diciptakan oleh dunia Islam. Disebut kalender Hijriyah karena momentumnya memang bukan diambil dari hari kelahiran Nabi Muhammad, tetapi peristiwa perjuangannya yang dipandang sangat strategis dan historis dalam sejarah Islam, yaitu peristiwa hijrah dari Makkah ke Madinah.

Secara historis peristiwa hijrah ini merupakan mata rantai yang sangat menentukan kemenangan dan perkembanghan penyebaran Islam. Umat Islam begitu berat menghadapi tekanan musuh sewaktu di Makkah, lalu atas izin Allah berpindah dan melakukan konsolidasi di Madinah. Di kota ini umat Islam semakin besar jumlahnya, fondasi ajaran Islam semakin mapan, dan pada gilirannya Rasulullah dan umatnya kembali lagi ke Makkah dan menaklukannya dengan cara damai.

Kota Makkah dan Madinah adalah dua kota yang menjadi basis dan saksi masa-masa awal pembentukan ajaran dan ummat Islam yang hidup sezaman dengan Rasulullah. Massa inilah yang selalu menjadi rujukan dan sumber inspirasi bagi pembinaan ummat Islam setelahnya dari zaman ke zaman. Oleh karena itu setiap tiba tahun baru Hijriyah ummat Islam sedunia selalu mengadakan upacara peringatan untuk mengenang kembali dan meneladani Rasulullah dan para sahabatnya bagaimana membangun komunitas muslim yang beradab, tercerahkan, yang berhasil gemilang mengganti kehidupan tidak beradab (jahiliyyah) menjadi sangat beradab (civilized).

Pada awalnya kalender itu memang sebuah konvensi sebagai tanda perjalanan waktu, dengan mandasarkan hitungan putaran bumi, matahari dan bulan yang kemudian melahirkan tonggak-tongak waktu sejak dari menit, jam, hari, minggu, bulan, tahun, dan abad. Tetapi untuk selanjutnya kalender selalu muncul dalam kesadaran batin kita bagaikan sebuah rumah yang berjalan (moving house) yang di dalamnya menyimpan seribu satu kenangan dan catatan peristiwa yang berjalan menyertai kita. Bahkan, seluruh aktivitas kita pun selalu dibayangi dan dibatasi oleh waktu.

Jam tangan dan kalender tak pernah luput dari kesadaran kita sehari-hari. Di manapun kita memasuki dunia kerja, di situ akan selalu bertemu dengan informasi tanggal, hari, bulan dan tahun. Bahkan juga jam. Jam tangan yang awal mulanya diciptakan oleh manusia untuk mengetahui informasi waktu, sekarang posisinya menjadi berbalik. Bagi kalangan eksekutif yang serba sibuk, bahkan selalu merasa dikejar-kejar oleh jam dan waktu. Sampai-sampai muncul ungkapan, kalau bisa seminggu itu menjadi sepuluh hari karena merasa sempit waktu yang tersedia untuk menyelesaikan berbagai pekerjaan.

Bagi umat Islam, kesadaran akan waktu sangat penting karena berkaitan dengan pelaksanaan perintah ibadah. Seperti ibadah salat selalu dikaitkan dengan waktu-waktu tertentu. Begitu pun perintah berpuasa Ramadhan, juga penetapan Idul Fitri dan Idul Adha mesti didasarkan pada perhitungan jam, hari dan bulan. Ketika Islam lahir, masyarakat Arab sudah mengenal hitungan bulan, namun belum memiliki kalender tahunan. Pembuatan kalender tahunan ini diciptakan justeru oleh Khalifah Umar bin Khattab, sepeninggal Rasulullah. Umar yang cerdas ini berpikir dan malu, mengapa ummat Islam mengikuti hitungan tahun milik tradisi agama lain, bukannya memiliki kalender sendiri.

Setelah melalui diskusi dengan para sahabatnya, maka disepakati dihitung sejak dari peristiwa hijrah Rasulullah dengan alasan seperti disebutkan di muka. Adapun nama-nama bulan tinggal meneruskan tradisi yang telah mereka kenal. Karena kalender Hijriyah berdasarkan hitungan bulan, maka putarannya lebih cepat ketimbang Masehi yang berdasarkan putaran matahari. Setiap tahunnya bisa selisih sekitar sepuruh hari.    

Nama-nama hari dalam kalender Hijriyah terasa lebih rasional. Yaitu: Ahad (satu), Senin (dua), Selasa (tiga), Rabo (empat), Kamis (lima), Jum’at (kumpul, maksudnya untuk salat Jum’at), Sabtu (ke tujuh, libur). Adapun nama hari dalam tradisi Romawi masih terdapat unsur mitologi, misalnya saja Sunday, dulunya hari untuk menyembah dewa matahari. Saturday, hari menyembah saturnus. Monday, hari untuk menyembah bulan, dan seterusnya.      

Tetapi dewasa ini masyarakat tidak lagi mengkaitkan hari-hari tadi dengan kepercayaan mitologis. Begitu pun nama-nama hari yang berasal dari bahasa Arab, tidak selalu dikaitkan dengan tradisi Arab atau kepercayaan agama. Berbagai unsur dan istilah agama dan budaya sudah saling lebur, saling memperkaya. Namun untuk urusan keyakinan agama seseorang mesti menggali pada substansi, jangan hanya berhenti pada lebel atau nama. Lebih tak elok lagi jika kita bertengkar soal lebel agama, tetapi tidak memahami substansinya, dan tidak juga mengamalkannya dengan benar dan serius.

Mari kita jadikan semua penanda waktu untuk menjadikan hidup lebih produktif. Bukankah hidup semakin bermakna dan produktif jika kita selalu menyadari betapa pendeknya fasilitas waktu yang kita miliki? 

Komaruddin Hidayat
Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta.  metrotvnews

0 comments:

Posting Komentar