Subscribe:

Ads 468x60px

Pages

4 Jun 2012

Ekor yang Terputus

  • i
Alkisah, suatu hari di tepian parit sebuah desa, tampak seekor cicak kecil berusaha berlari menghidari sergapan ular yang sedang kelaparan. Rimbunnya rumput di sekitar situ membantu cicak menyelamatkan diri, tetapi usaha si cicak tidak bertahan lama... Hup, ekor cicak pun tertangkap sang ular. Dengan kekuatan seadanya, cicak berupaya dan terus berjuang untuk meloloskan diri dari ular itu. Demi menyelamatkan nyawanya, cicak menggunakan upaya terakhir dengan memutuskan ekornya dan segera melarikan diri dengan berlari sekuat tenaganya. Kebetulan kejadian itu dilihat oleh seorang petani. Karena merasa kasihan, berkatalah si petani kepada si cicak. "Hai cicak kecil, sungguh beruntung kamu bisa menyelamatkan diri dari santapan si ular. Namun sayang sekali ekormu harus terputus. Apakah kamu merasa sangat kesakitan?" Dengan mata kecilnya, si cicak kecil menatap ke mata simpati si petani sambil menganggukkan kepalanya. Terlihat samar matanya berkaca-kaca. Si petani tersentuh hatinya dan menawarkan bantuannya kepada cicak itu. "Kemarilah cicak, aku akan membantu membalut lukamu. Aku punya obat luka yang mujarab untuk menyembuhkan lukamu." Si petani lalu mengeluarkan sebungkus obat. "Terima kasih, Pak Petani. Kami kaum cicak, biarpun kecil dan lemah tetapi telah dibekali oleh Yang Maha Kuasa kemampuan menyelamatkan diri dari bahaya dengan memutuskan ekor di saat yang genting. Walaupun kami merasakan kesakitan saat melakukan itu, tetapi secara alami, alam akan membantu menyembuhkan dan menumbuhkan ekor seperti semula. Kebaikan hari Pak Tani membalut lukaku, justru akan menghambat pertumbuhan ekor baruku. Terima kasih atas kebaikan hatimu. Aku sendiri sangat bersyukur atas rasa sakit ini. Itu menyadarkan kepadaku bahwa aku harus lebih menghargai kehidupan ini dengan berjuang dan mensyukuri setiap hari yang masih tersisa untukku. Sekali lagi terima kasih dan sampai jumpa pak Tani," si cicak merangkak menjauh sambil memikul rasa sakit yang sangat. Jauh di dalam hatinya, cicak tahu, semua penderitaan ini hanyalah sebuah proses pendewasaan yang harus dilalui. Kerabat Imelda....Kalau menghadapi kesulitan, cobaan, kita hanya bisa merengek, mengeluh minta dikasihani maka nasib tidak akan berubah menjadi lebih baik. Justru harus belajar keras pada diri sendiri untuk tetap tegak, tegar dalam menghadapi setiap masalah yang muncul di hadapan kita. Penderitaan hidup dan rasa sakit tidak akan membuat kehidupan kita berakhir dengan sia-sia, selama kita sadar bahwa di setiap penderitaan dan rasa sakit selalu ada hikmah yang bisa diambil. Yakni sebuah proses untuk menguatkan dan mendewasakan kita, agar kita tumbuh sebagai pribadi yang lebih dewasa dan siap berjuang demi menciptakan kehidupan sukses yang lebih baik dan lebih luar biasa! Sumber

Dua orang Beriman

  • i
Dahulu kala, di propinsi Se Chuan, negeri Cina, hidup dua orang beriman yang tinggal dalam dua rumah yang berbeda. Yang satu miskin dan yang lain kaya. Pada suatu hari, yang miskin mendapat ilham dan berkata kepada yang kaya, “Saya ingin berziarah ke Gunung Budo di Laut Timur untuk memperdalam ajaran agama, bagaimana menurut Anda ?“ “Apa ?? Jangan bermimpi disiang hari !“ yang kaya tersebut berkata, “Jarak dan sini ke Laut Timur sangat jauh, dirintangi banyak gunung dan sungai. Anda begitu miskin, bagaimana mungkin bisa sampai kesana?” Yang miskin menjawab dengan tenang, “Saya dapat mengandalkan satu botol untuk mengisi air dan satu mangkok untuk menampung nasi, semua itu sudah cukup bagi saya !“ “Huh !!“, yang kaya berkata dengan nada menghina, “Beberapa tahun ini saya juga ingin berekreasi ke Gunung Budo. Saya mempunyai rencana untuk membeli sebuah kapal, tetapi saat ini uang yang terkumpul belum cukup. Apakah Anda mau ke sana hanya dengan mengandalkan kedua kaki Anda, sebotol air dan satu mangkok nasi ? Mana mungkin ?!?“ Setahun kemudian, yang miskin benar-benar berhasil mewujudkan keinginannya dan kembali dari Gunung Budo. Melihat hal ini, yang kaya sangat malu, dan tidak berani keluar dari rumahnya selama setengah tahun. 
Seratus buah rencana, tidak lebih baik dari sebuah pelaksanaan. Walaupun Anda memiliki impian dan cita-cita yang mulia, namun jika hanya terhenti pada tahap “pembicaraan”, 3-5 tahun kemudian, semua itu akan tetap menjadi sebuah “mimpi”. Hanya dengan tindakan, impian baru akan terwujud menjadi kenyataan. Ingat selalu ! Jadilah seorang raksasa dalam pelaksanaan, baru Anda dapat menikmati buah manis dari kesuksesan. Sumber

Hati-hati Di Balik Keramahtamahan

  • i
Serombongan ayam hutan yang terdiri dari seekor jago, seekor induk, dan beberapa ekor anak ayam, berkunjung ke rumah ayam kampung. Masih di tengah hutan, hari sudah keburu gelap. Mereka tidak berani meneruskan perjalanan.
“Ah, seandainya ada yang berbaik hati menawarkan penginapan ...,” gumam si induk ayam.
Kebetulan seekor serigala lewat.
“Hai sahabatku, ayam hutan, hari mulai gelap. Lebih baik kalian menginap di rumahku saja,” kata serigala.
“Lari!!” teriak ayam jago, tanpa pikir panjang.
Rombongan ayam hutan lari bersembunyi menuruti aba-aba.
“Mengapa kita lari bersembunyi? Padahal, serigala tadi dengan ramah menawarkan persinggahan di rumahnya," gerutu si anak ayam yang terengah-engah mengimbangi lari induknya.
“Rumah bagi serigala berarti perut!” jawab si induk Sumber

Berharap Kejujuran Orang Lain

  • i
Tidak seperti biasanya, kali ini saya pulang kantor harus naik beberapa kali angkutan. Saya mendapatkan sedikit kenyamanan dengan duduk di bangku depan. Ketika kondektur meminta ongkos, saya mengeluarkan selembar uang lima ribuan. Berharap uang kembalian seribu rupiah, tapi kondektur tidak memberikannya.
Ketika itu saya berharap sang kondektur mengatakan, “Nanti ya Mbak kembaliannya.” Tapi ia tidak mengatakan apa pun, bahkan terkesan cuek. Kondektur kembali mencari penumpang dengan menyebutkan jurusan trayek angkutan kota ini.
Meskipun hanya seribu rupiah, rasanya saya gelisah sekali, tetap berharap kondektur itu mengembalikan sisa uangnya. Ketika saya tanyakan, kondektur itu diam saja, tak menjawab sepatah kata pun. Hingga akhirnya kondektur berkeliling menagih ongkos penumpang lain, ia mencolek saya dan mengatakan, “Mbak, bentar ya kembaliannya, gak ada recehan.” Saya mengangguk.
Entah kenapa, tiba-tiba saya menjadi tenang, tidak lagi gelisah. Setelah itu saya menyandarkan punggung dan kepala, lalu mulai tertidur. Kemudian lupa kalau saya masih punya seribu rupiah di tangan kondektur itu. Bahkan, tidak peduli lagi. Terbangun ketika kondektur itu mencolek saya dan mengembalikan uang seribu rupiah.
Rupanya saya sedikit menuntut kejujuran kondektur itu. Saya pikir kondektur itu lupa. Bukan karena nilai uang yang hanya seribu rupiah, tapi seandainya sejak awal kondektur itu mengatakan bahwa tidak ada recehan, saya bisa menerima alasannya.
Kita selalu menuntut orang lain untuk jujur. Tapi apakah kita sendiri sudah jujur pada orang lain? Apakah kita juga sudah jujur pada diri sendiri? Saya harus menelisik lebih dalam kembali pada diri saya untuk menjawab pertanyaan itu. Sumber

Gayung Tak Bersambut

  • i
Pak Panurata menjadi kepala kantor Departemen Penerangan Warta Kasih. Ia mengadakan kunjungan mendadak ke daerah yang terkena bencana alam. Tujuan kunjungannya adalah untuk memberikan peneguhan bagi rakyatnya yang sedang mengalami penderitaan.
Pak Panurata diterima oleh pejabat daerah di Balai Desa yang kebetulan dijadikan tempat darurat kegiatan belajar para siswa tingkat dasar. Masyarakat mendengarkan wejangan dari Pak Panurata dengan wajah serius. Untuk menciptakan suasana gembira, Pak Panurata bermaksud mengajak menyanyi sekelompok anak yang sejak tadi kelihatan terkesima melihat dirinya.
“Mari, Anak-anak, kita bernyanyi bersama-sama supaya hati kita gembira. Judul lagunya Di Sini Senang Di Sana Senang. Oke? Satu, dua, tiga!”
Anak-anak diam. Pak Panurata memberi aba-aba sekali lagi.
“Ayo, jangan ragu-ragu! Siap? Satu, dua, tiga .... Ayo nyanyi. Kok diam saja sejak tadi?” Raut muka Pak Panurata memerah karena anak-anak itu tetap diam tak bereaksi.
“Maaf, Pak!” bisik Kepala Desa, “Anak-anak ini siswa SLB bisu-tuli. Mereka tidak dapat bernyanyi dengan cara seperti yang Bapak harapkan.”
Yang penting bukan hanya apa yang disampaikan melainkan juga kepada siapa berita itu akan disampaikan. Sumber 

Kehadiran Yang Jujur

  • i
Menemani seorang kawan yang sedang susah bukanlah hal yang mudah, dan sering kali membuat kita merasa tidak nyaman. Kita tidak tahu harus berbuat apa, harus berkata bagaimana dan kita bertanya-tanya dalam hati harus memberikan tanggapan apa atas hal-hal yang kita dengar.
Kita mengalami godaan besar untuk berbicara. Tetapi sebenarnya hal itu lebih didorong oleh rasa khawatir atau takut kita sendiri daripada oleh perhatian kita kepada kawan yang sedang kesusahan. Kadang-kadang kita berkata, “Sekarang keadaanmu lebih baik daripada kemarin,” atau “Saya yakin engkau akan segera dapat mengatasi kesulitan ini.” Sementara itu, kita tahu bahwa yang kita katakan sebetulnya tidak benar, dan kawan kita juga tahu mengenai hal itu.
Kita tidak perlu bersandiwara satu sama lain. Kita dapat berkata saja, “Saya kawanmu dan saya senang dapat berada di sini bersamamu.” Kita dapat menyatakannya dengan kata-kata, atau sekadar pandangan dan sentuhan penuh perhatian. Kadang-kadang baik mengatakan, “Engkau tidak usah berbicara. Silakan istirahat saja, saya menunggumu di sini sambil berdoa bagimu.”  Sumber

Berbagi Rahasia Menyembuhkan Batin

  • i
Kita semua mempunyai rahasia: pikiran, ingatan, atau perasaan yang kita simpan untuk diri kita sendiri. Sering kali kita berpikir, “Kalau orang tahu apa yang saya pikirkan atau rasakan, mereka tidak akan mencintai saya.”

Rahasia-rahasia yang kita simpan ini dapat dengan mudah merugikan diri kita. Rahasia-rahasia itu dapat membuat kita merasa bersalah atau malu. Selanjutnya, rasa salah dan malu ini dapat membuat kita menolak diri kita, tertekan, serta melakukan tindakan-tindakan yang mencelakakan.
Salah satu hal paling penting yang dapat kita lakukan dengan rahasia-rahasia itu ialah membagikannya di tempat yang aman dengan orang yang kita percaya. Kalau kita menemukan jalan yang baik untuk memaparkan rahasia-rahasia kita dan merenungkannya bersama orang lain, dengan segera akan kita sadari bahwa kita tidak sendirian dengan rahasia-rahasia itu; dan sahabat-sahabat yang kita percaya dan mempercayai kita akan mencintai kita jauh lebih mendalam daripada sebelumnya.
Memaparkan rahasia-rahasia kita dapat membuahkan komunitas dan penyembuhan batin. Sebagai buah dari berbagi rasa mengenai rahasia-rahasia itu, orang lain akan semakin mencintai kita dan kita sendiri pun akan mencintai diri kita secara lebih utuh Sumber

Bahagia Itu Pilihan

  • i
Seorang sahabat belum lama ini melahirkan putra pertamanya. Saya dan beberapa kawan lain datang menjenguk ke rumah sakit sambil membawa bingkisan berbalut kertas kado biru muda. Begitu kami masuk ke ruang inap tempat sahabat kami dirawat, senyumnya mengembang melihat kedatangan kami.
Setelah sedikit bercakap-cakap, masuklah beberapa sanak saudara sahabat saya itu yang juga datang untuk menjenguk. Dari seorang ibu berkerudung merah dadu, terlontarlah ucapan selamat yang terdengar klise ini, “Selamat ya. Semoga putranya kelak tumbuh menjadi anak yang sholeh dan dapat membahagiakan kedua orangtua.”
Saya tertegun. Kalimat sederhana ini memang sekilas terdengar penuh harapan dan rasa bahagia, tapi seperti ada yang mengganjal bagi saya. Apa betul kebahagiaan setiap orang hanya bisa bergantung pada kebahagiaan orang lain? Saya ragu.
Membahagiakan orang lain, apalagi orang-orang yang kita sayangi memang bisa membuat diri sendiri bahagia. Namun, bagaimana jika orang-orang tersebut suatu saat pergi dan mungkin tak kembali? Apakah kebahagiaan tak akan bisa lagi kita temukan dalam diri kita sendiri? Saya lebih ingin percaya bahwa kebahagiaan adalah tanggung jawab diri kita masing-masing. Kebahagiaan adalah sesuatu yang bersifat personal. Kebahagiaan adalah suatu keputusan, seperti saat kita memutuskan akan melangkah ke kanan atau ke kiri.
Maka, saat ada orang yang bertanya, “Apa rahasiamu untuk menjadi bahagia?” Tidak ada rahasia. Bahagia itu cuma rasa yang akan ada saat kita memutuskannya untuk ada. Bukan pada orang lain, tapi di diri kita.
Di sini, di dalam dada. Sumber
  • i
“Habiskan makananmu. Ada banyak anak lain yang tidak punya rumah dan tidak bisa makan cukup lho di luar sana.”
Petuah semacam ini pasti pernah Anda terima semasa kecil dahulu dari orangtua maupun sanak saudara. Maksud orangtua kita mungkin memang baik, yakni mengajarkan kita untuk mampu bersyukur dengan makanan yang bisa kita makan hari ini dan apa pun yang kita miliki saat ini. Tak ada yang salah dengan bersyukur, tapi berhati-hatilah untuk tidak bersyukur dengan alasan yang salah.
Mengasumsikan bahwa ada sebagian orang lain yang kurang beruntung dibanding diri kita saat ini bisa jadi cara bersyukur yang kurang baik. Jadi, saat ini kita telah mampu mengakses internet dengan cepat, mempunyai telepon seluler, dan bisa memperoleh air bersih dengan mudah. Apakah hal-hal di atas lantas membuat kita menjadi orang yang lebih baik daripada orang-orang yang tak memiliki kesempatan yang sama?
“Tentu tidak,” mungkin itu jawab Anda dalam hati. Tapi, apa benar demikian yang Anda rasakan dalam hati? Ini tak semata soal bagaimana kita memandang orang lain yang hidup di bawah garis kemiskinan. Ini tentang bagaimana kita mempersepsikan manusia secara umum.
I’m not okay, you’re not okay. Orang-orang yang kekurangan secara materiil memang mudah terlihat sebagai pihak yang patut dikasihani. Namun, sesungguhnya kita pun tak jauh berbeda dari mereka.
Saat mereka tak punya air bersih untuk minum, kita punya jumlah penderita depresi dan angka bunuh diri yang tinggi. Saat mereka tak punya fasilitas kesehatan yang layak, kita harus berjuang dengan berbagai kasus ketergantungan obat. Saat mereka punya angka buta huruf yang tinggi, kita punya angka perceraian yang tinggi.
Daripada bersyukur dengan cara membandingkan diri dengan kondisi orang lain yang kita anggap lebih buruk, cukuplah kita berterima kasih dengan kondisi kita sendiri saat ini. Bersyukurlah untuk semua makanan enak yang bisa kita makan hari ini. Jangan bersyukur untuk 2/3 penduduk muka bumi lain yang tidak bisa menikmatinya.
Saya, mereka, dan Anda adalah sama. Cukup syukuri saja apa yang kita miliki dan mari kita berjuang mengarungi hidup dengan cara kita sendiri-sendiri.Sumber

Merindukan Kehadiran yang Semu

  • i
Sudah lama Kimiko kangen ingin berjumpa dengan kekasih hatinya. Ia jadi banyak melamun. Tak dinyana, tak diduga, hari ini datanglah Oshin, sang pujaan hati. Segeralah mereka saling melepas rindu.
“Oh, Oshin kekasih hatiku. Tahukah engkau betapa selama ini aku sangat ingin bertemu denganmu? Sayangku, tahukah kamu bahwa aku ingin segera bersanding denganmu. Aku ingin bercerita tentang dedaunan yang merindukan jatuhnya embun di taman yang indah. Oh, aku ingin sekali bertemu denganmu, Sayang.”
“Sekali lagi Mas Kimiko berkata rindu-rindu, aku akan pergi dari sini!”
“Loh, mengapa dikau justru marah padaku, Oshin sayang?”
“Bukankah sejak tadi aku duduk di sampingmu, bahkan kusisiri pula rambutmu dengan jari-jari tanganku sendiri? Masih juga Mas Kimiko ingin bertemu denganku? Jadi, kau anggap apa kehadiranku ini?”
Kita selalu mengungkapkan kerinduan kita kepada Tuhan, tetapi tidak mau menyadari Tuhan yang telah lama hadir dan menyapa hati kita.Sumber

Tak Tahu, Maka Tak Paham

  • i
Saya bukan orang penyabar. Jadi, ketika ada hal di sekitar yang mengganggu atau tidak sesuai kehendak dan suasana hati, gampang sekali kepala ini naik pitam. Walau tak meledak kemana-mana, tapi dari raut wajah sudah amat terlihat bahwa saya sedang marah. Mendongkol kata orang.
 
Tak sedap sekali memang jika melihat wajah sendiri ketika cemberut dan kerut kening jadi satu ketika marah. Apalagi jika badan memang sedang lelah sehabis beraktivitas dan panas-panasan sepanjang jalan. Belum lagi debu menempel campur keringat. Tambah bikin suasana “panas”.
 
Kerap ketika ada orang yang ngebut saat mengemudi, merokok di kendaraan umum, atau membakar sampah di pagi hari saat orang-orang hilir mudik ke kantor atau sekolah dan amat butuh udara segar, wajah ini langsung merah. Ingin meledak, tapi tak bisa. Karena pembawaan saya yang memang tak suka menegur langsung orang, akhirnya saya hanya diam. Menampakkan muka cemberut ke arah orang-orang menyebalkan itu.
 
Dalam hati sumpah serapah yang seharusnya keluar dari mulut, menjadi berdesak-desakan masuk ke hati. Bingung memang bagaimana caranya mengelola perasaan sendiri. Gampang terlihat ketika kita hanya membaca atau mendengarkan ceramah pemuka agama yang menganjurkan sabar. Teorinya sederhana. Tapi praktiknya tak semudah mengedipkan mata.
 
Suatu kali saya berjalan terburu-buru, dikejar-kejar deadline dan harus bersusah-payah mencari waktu temu dengan pembimbing skripsi.  Badan amat capek, skripsi belum direvisi, dan pembimbing yang entah di mana rimbanya akhirnya membuat pikiran tak keruan. Wajah cemberut sepanjang hari dan langkah pun jadi tak tentu. Tabrak sana-sini.
 
Beberapa orang menampakkan muka tak sukanya pada saya. Saya tak acuh. “Bodo amat!” batin saya. “Gaktau apa orang lagi sibuk?”
 
Deg!
 
Ketika itulah tiba-tiba terbersit dalam pikiran: Mereka tidak tahu. Mereka memang belum tahu. Mereka marah karena mereka tak tahu kondisi saya dan saya pun melakukan tindakan yang sama ketika marah.
 
Kemudian saya mencoba berpikir jernih. Ada yang harus dikoreksi dari sikap sebelumnya. Tak tahu, maka tak paham bukan?
Maka, semuanya memang tentang rasa sabar. Juga pikiran baik. Mencoba memahami keadaan orang walau tak terlihat langsung di depan mata.
 
“Mungkin ada anggota keluarganya yang sakit sehingga ia harus buru-buru ke rumah sakit.” Atau, “Mungkin ia sedang ingin pipis?” begitu terka saya dalam hati, ketika ada yang ugal-ugalan membawa kendaraan, mencoba mencari kemungkinan-kemungkinan hal yang mungkin sebenarnya tak diketahui orang banyak. Yang membuat kita hanya menilai kelakuan orang lain dari luar.
 
Lalu ketika ada yang merokok di tempat umum, “Mungkin bapak ini belum membaca peraturan yang tertulis di sini, atau ia lupa kali ya? Biasalah orang tua,” batin saya.
 
Walau keadaan sesungguhnya tak seperti itu, tapi terbukti hati ini jadi lebih lapang. Pikiran jadi lebih tenang dan senyum pun jadi lebih mengembang.
 
Tak mudah memang mengawalinya. Tapi, tak ada ruginya dicoba. Think positive!Sumber

Mensyukuri Kehidupan Lewat Ultah

  • i
Hari Ulang Tahun adalah hari yang amat penting. Pada hari ulang tahun kita mensyukuri hidup kita. Pada hari ulang tahun, orang dapat berkata kepada kita, “Terima kasih, atas keberadaanmu.” Hadiah ulang tahun adalah tanda kegembiraan keluarga dan sahabat kita, karena kita menjadi bagian kehidupan mereka.
Anak kecil sering kali sudah mengharapkan tibanya pesta ulang tahun berbulan-bulan sebelumnya. Bagi mereka, hari ulang tahun adalah hari besar. Pada hari itu mereka menjadi pusat perhatian dan kawan-kawan mereka datang untuk ikut merayakannya.
Kita tidak boleh lupa akan hari ulang tahun kita, dan hari ulang tahun sahabat-sahabat dekat kita. Ulang tahun mengingatkan kita bahwa yang penting bukanlah yang kita kerjakan atau hasilkan, bukan yang kita miliki atau ketahui, melainkan bahwa kita sekarang ini ada dan hidup. Pada hari ulang tahun, marilah kita syukuri anugerah kehidupan kita. Sumber