Turun dari puncak Gunung Ungaran sangatlah melelahkan. Jalan panjang dan panas harus dilalui. Tenaga sudah habis. Bekal juga sudah habis. Setelah hampir mencapai kaki gunung, memang tampak pemandangan yang sangat indah. Sungai mengalir. Kiri kanan jalan tampak sayur-mayur yang sedang dipanen oleh para petani.
Salah satu panenan yang sedang dipetik adalah lobak. Lobak adalah sejenis umbi yang warnanya menarik, seperti mentimun. Dalam keadaan capek dan haus, melihat lobak yang sedemikian menarik itu, Untung semakin haus.
“Bu, ini enak enggak dimakan?” tanya Untung sambil menunjuk lobak yang bertumpuk-tumpuk di tepi pematang sawah.
“Oh, enak Mas! Rasanya seperti mentimun!” sahut ibu itu.
“Boleh saya minta satu saja?”
“Boleh!”
Untung pun segera mengambilnya, dibersihkan dan dibrakotnya lobak tersebut! Begitu mengunyah, Untung lantas gebres-gebres. Ternyata, rasa lobak di lidah dan mulut Untung begitu asing! Pedas-pedas gimana, membuat bibirnya menjadi gatal-gatal! Pokoknya tidak karuan rasanya! Sama sekali tidak seperti mentimun rasanya! Teman-teman Untung hanya cekikikan melihat ulah Untung.
“Wah, malah makin haus!”
“Berarti kamu belum terbiasa makan lobak!”
“Lo kamu pernah makan lobak?”
“Ya pernah!”
“Kenapa kamu tidak memberi tahu aku?” protes Untung.
“Saya kira kamu sudah biasa makan,” jawab temannya ringan.
Yang enak bagi seseorang, belum tentu enak bagi orang lain! Orang dibentuk oleh kebiasaan-kebiasaan yang dibuatnya. Yang biasa makan lobak, lobak begitu enak ibarat apel. Namun, bagi yang tidak biasa, lobak memang tidak enak. Semakin biasa semakin asyik. Demikian pula dalam hidup rohani. Semakin biasa kita berdoa, merenung, membaca ayat-ayat suci, hal-hal itu juga akan mengasyikkan dalam kehidupan kita. Beranikah kita mencoba masuk dalam kebiasaan-kebiasaan itu? Sumber
26 Mei 2012
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 comments:
Posting Komentar