Konon, ada seorang tokoh darwis yang berangkat mengadakan perjalanan melalui laut. Ketika penumpang-penumpang lain memasuki perahu satu demi satu, mereka melihatnya dan sebagai lazimnya, mereka pun meminta nasehat kepadanya.
Apa yang dilakukan semua darwis tentu sama saja, yakni memberi tahu orang-orang itu hal yang itu-itu juga. Darwis itu tampaknya mengulangi saja salah satu rumusan yang menjadi perhatian para darwis sepanjang masa.
Rumusan itu adalah: "Cobalah menyadari maut, sampai kau tahu maut itu apa." Hanya beberapa penumpang saja yang secara khusus tertarik akan peringatan itu.
Mendadak ada angin topan menderu. Anak buah kapal maupun penumpang semuanya berlutut, memohon agar Tuhan menyelamatkan perahunya. Mereka terdengar berteriak-teriak ketakutan, menyerah kepada nasib, meratap mengharapkan keselamatan. Selama itu, sang darwis duduk tenang, merenung, sama sekali tidak memberikan reaksi terhadap gerak-gerik dan adegan yang ada di sekelilingnya.
Akhirnya, suasana kacau itu pun berhenti, laut dan langit tenang, dan para penumpang menjadi sadar kini betapa tenang darwis itu selama peristiwa ribut-ribut itu berlangsung.
Salah seorang bertanya kepadanya, "Apakah Tuan tidak menyadari bahwa pada waktu angin topan itu tak ada yang lebih kokoh daripada selembar papan, yang bisa memisahkan kita dari maut?"
"Oh, tentu," jawab darwis itu. "Saya tahu, di laut selamanya begitu. Tetapi saya juga menyadari bahwa, kalau saya berada di darat dan merenungkannya, dalam peristiwa sehari-hari biasa, pemisah antara kita dan maut itu lebih rapuh lagi."
CatatanKisah ini ciptaan Bayazid dari Bistam, sebuah tempat di sebelah selatan Laut Kaspia. Ia adalah salah seorang di antara sufi besar zaman lampau, dan meninggal pada paruh kedua abad ke-9.Sumber
13 Jan 2012
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 comments:
Posting Komentar