Seorang istri mengeluh. Ia menyesalkan sikap suaminya saat merayakan pergantian tahun. Ia kecewa, mengapa sang suami tidak memberi ucapan selamat pertama kali dalam menyambut kedatangan tahun yang baru itu
“Aku kecewa. Mengapa suamiku dan teman-temannya justru tidak menyapa lebih dahulu orang terdekatnya. Mengapa justru mereka sibuk dengan benda mati itu untuk menyapa orang lain yang berada di kejauhan?” ungkap sang istri itu. Ia merasa menyesal tidak dianggap sebagai seorang manusia pada momen yang bagus itu.
Memang sudah menjadi kebiasaan baru bagi orang modern untuk saling menyapa dan mengucapkan selamat jarak jauh. Mereka sibuk memencet-mencet tombol angka dan huruf demi membahasakan sapaan mereka.
Saat perayaan hari-hari besar, jumlah orang yang bertepuk tangan semakin berkurang. Tangan-tangan yang seharusnya untuk bertepuk tangan dan berjabat tangan itu kini sibuk bermain-main dengan tombol telepon genggam. Di tombol-tombol itulah mereka bertepuk tangan, berjabat tangan, bernyanyi, bersuka ria, dan berbagi canda.
Telepon seluler telah membuat orang tenggelam dalam dunia tak nyata. Sapaan yang seharusnya nyata pun menjadi hilang ditelan gelombang yang tak kelihatan. Martabat manusia telah hilang. Kemanusiaan mereka hilang karena sudah tergantikan dengan bahasa pesan. Telepon seluler disulap menjadi berjiwa. Selanjutnya orang mendewakan benda teknologi itu sebagai kekasih baru yang harus dipuja.
Jangankan Sang Maha Pencipta, orang-orang dalam dunia nyata yang dikasihinya pun terlupakan. Simbol-simbol pesan dan bahasa itu telah merenggut martabat manusia. Orang sudah diperbudak teknologi. Bahkan tak jarang orang menganggap telepon seluler adalah dewa baru yang tak boleh ditinggalkan barang sedetik pun. Ia harus dibawa serta dengan segenap hati dan pikiran kemanapun orang pergi.
Sementara itu, komunikasi dengan Sang Maha Empunya teknologi itu acapkali, dan bahkan selalu, terputus. Banyak gangguan pada jalur yang menghubungkan manusia dengan Sang Penciptanya. Anehnya, meskipun selalu terjadi berulangkali, orang yang kecanduan telepon seluler itu tak pernah menyesali dan tak pernah berkeluh kesah. Lain halnya jika jalur komunikasi melalui telepon seluler itu terputus, keluhan, sumpah serapah akan berebut jalur komunikasi itu.
Seandainya dicanangkan hari tanpa ponsel atau BlackBerry sedunia, maka popularitas Sang Pencipta akan mendapat saingan berat dengan ponsel. Mungkin orang akan kelabakan dan bahkan dibuat gila apabila tidak ada ponsel selama satu hari. Mungkin akan banyak orang depresi dan murung. Mungkin pula orang akan linglung kehilangan pegangan hidup. Atau, yang lebih fatal lagi mungkin angka bunuh diri akan meningkat tajam gara-gara ketiadaan ponsel. Ya, siapa tahu 'kan?
Orang berdalih, kalau menelepon Sang Pencipta jelas tidak bisa. Mau berkomunikasi lewat doa belum tentu dibalas dalam sekejap. Mau minta rejeki, harus menunggu sampai lupa. Mau berbicara, pasti bukan sebuah dialog dua arah. Karena Sang Pencipta selalu"ngumpet" dan tak kelihatan batang hidungnya. Belum tentu apa yang dimaui akan diberikan saat itu juga.
Jelas, kemungkinan besar popularitas Sang Pencipta akan turun tangga. Orang lebih repot untuk mencari ponsel untuk menjalin relasi dan berkomunikasi. Mungkin dunia akan kiamat kalau tidak ada ponsel selama satu hari saja. Tapi mungkin kiamat masih dianggap jauh seandainya Sang Pencipta dianggap tidak ada.
Andai saja ada jajak pendapat mengenai popularitas telepon genggam dan Sang Pencipta, kita mau memilih yang mana? Hanya hati yang jujur kiranya akan tahu jawabannya yang paling tepat. Sumber
12 Jan 2012
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 comments:
Posting Komentar