Seorang pendaki gunung, anggaplah bernama Gigih, telah banyak menaklukkan puncak-puncak tinggi dunia. Ia senang dapat melihat pemandangan yang indah dari atas puncak gunung. Ia pernah mendaki gunung Kilimajaro di Afrika, Puncak Everest dan Puncak Jaya di Papua.
Selalu ada ketakutan setiap ia hendak mendaki sebuah gunung baru. Ia akan mulai mendaki selangkah demi selangkah saat hatinya tenang. Ketika seperempat perjalanan telah ia lalui, ia berhenti ketika melihat sebuah ular yang berada di hadapannya. Ia takut, amat panik, tapi ia tetap berusaha tenang, karena khawatir gerakan tubuhnya akan membuat ular tersebut marah dan malah mengigitnya. Ular tersebut akhirnya melewati Gigih tanpa menyerangnya.
Bekal yang ia bawa tak banyak. Saat dipertengahan gunung, ia khawatir bekalnya tak akan mencukupi kebutuhannya hingga turun nanti. Ia takut mati di tengah perjalanan. Ia duduk, mengambil nafas sejenak, mengumpulkan keberanian dan kemudian bersemangat kembali untuk mendaki, setelah ia teringat motivasi awalnya. Yaitu melihat pemandangan indah di puncak gunung ini.
Pada tiga per empat bagian gunung telah ia lalui, ia melihat tulang-tulang berserakan. Ia berpikir, mungkin itu sisa tulang-belulang para pendaki yang tewas saat mendaki dahulu. Pemandangan itu membuat Gigih lemas. Ia membuka bekalnya untuk mengumpulkan tenaga lagi. Namun hanya tinggal sepotong roti yang tersisa. Dapatkah Gigih menyelesaikan perjalanannya tanpa mati kelaparan atau kelelahan? Mau berbalik pulang? Ah, perjalanan toh sudah tinggal seperempat lagi. Maka Gigih bertekad menyelesaikan perjalanannya. Ia habiskan roti itu dan kembali mendaki.
Gigih amat lelah. Ia sempat terjatuh dan tersandung beberapa kali. Tapi ia terus melangkahkan kakinya. Tenaga yang tersisa menghantarnya hingga ke sebuah hamparan tanah datar. Gigih terjatuh kelelahan. Tak lama, ia membuka mata dan mencoba melihat ke hadapannya. Pemandangan yang sangat indah terpampang di depannya. Keindahan dunia di bawah sana. Warna-warni yang dihasilkan dengan sangat harmonis oleh alam. Ia ternyata telah sampai di
puncak gunung. Gunung tersebut telah takluk. Ia mengucap syukur. Dengan sikap pasrah, ia menyerahkan tubuhnya, menyerahkan kelelahannya pada Sang Pencipta. Gigih mati. Mati dalam kepuasan hidup. Mati dalam pengertian akan perjuangan hidup dan warna-warni kehidupan. Debu dan tanah gunung menjadi selimut untuk tidur panjangnya. Bunga Edelweiss sebagai hiasan dan batu gunung sebagai batu nisannya.
Inilah gambaran kehidupan yang akan, sedang, dan mungkin yang seharusnya kita alami. Kita mesti tetap berusaha walau banyak rintangan yang mesti kita hadapi. Kita mesti yakin pada tujuan hidup kita. Kita mesti percaya bahwa
setiap perjuangan akan membawa hasil. Sehingga kita pun dapat menghargai hidup kita dan semakin percaya bahwa Tuhan akan selalu ada dalam hidup kita.
Mari kita bawa seluruh perjuangan hidup kita kepada Tuhan. Suatu perjuangan yang penuh makna. Kita ingin satukan seluruh perjuangan hidup kita hari ini dengan tekad baru yang akan kita bangun di hari-hari mendatang. Sumber
2 Jan 2012
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 comments:
Posting Komentar